CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Senin, 02 Maret 2009

Kisah cinta zahrana 9

Bab 9

Pagi harinya bukan pesta pernikahan yang digelar
tapi upacara belasungkawa kematian. Tak ada lagu
bahagia. Tak ada senyum dan canda. Tak ada gelak tawa.
Yang ada adalah mata yang berkaca-kaca dan rinai tangis
dalam jiwa.
Zahrana belum bisa menerima apa yang terjadi. la
masih pingsan berkali-kali. Lina berinisiatif membawa
Zahrana ke rumah sakit. Zahrana harus dijauhkan dari
suasana yang masih diselimuti sedih itu. Zahrana harus
dijauhkan dari rumahnya, di mana ia siap melangsungkan
akad nikah, namun tiba-tiba menciptakan trauma
baginya.
Lina membawa Zahrana yang masih pingsan ke RS.
Roemani. Lina memilihkan kamar VIP agar Zahrana bisa
beristirahat dengan nyaman. Menjelang Zuhur Zahrana
siuman. Lina ada di sampingnya menenangkan. Setelah
minum air putih tiga teguk Zahrana menangis.
"Lebih baik aku mati saja Lin. Aku nyaris tidak
kuat!" katanya dalam pelukan Lina dengan terisak-isak.
"Sebut nama Allah ya Rana! Sebut nama Allah!
Ingatlah Allah! Bersabarlah! Mintalah kepada Allah agar
musibah ini diberi ganti yang lebih baik." Lina mencoba
menguatkan.
"Tapi aku bisa gila Lin. Aku bisa gila! Aku shock!
Daripada aku gila lebih baik aku mati saja!"
"Tidak, kau tidak akan gila. Kau akan baik-baik saja.
Percayalah ini ujian dari Allah untuk memilihmu menjadi
kekasih-Nya."
"Tak tahu aku harus bagaimana Lin."
"Sudahlah kau istirahat dulu. Tubuhmu sangat
lemah. Banyaklah berzikir. Dengan banyak berzikir hati
akan tenang!"
Dengan setia Lina menemani Zahrana. Segala usaha
ia kerahkan untuk menghibur teman karibnya itu.
"Anakmu bagaimana Lin, kalau kau di sini?" tanya
Zahrana.
"Tenang sudah ada yang mengurus. Anakku sedang
bersama kakek dan neneknya di Ungaran."
Tiba-tiba airmata Zahrana kembali keluar.
"Bahagianya punya anak. Kau beruntung Lin.
Punya suami baik. Anak lucu-lucu. Keluarga besar yang
penuh kasih sayang. Sementara aku. Jangankan anak.
Suami saja tidak punya. Baru mau punya sudah pergi...."
Kata Zahrana sambil menangis memandang langit-langit
kamar rumah sakit.
"Sudahlah Rana. Sudahlah. Hanya belum tiba
saatnya saja. Nanti kalau tiba saatnya kau insya Allah
akan memiliki yang lebih baik dari yang aku miliki."
"Entahlah Lin, harapanku sudah pupus. Aku merasa
tidak bergairah hidup lagi."
"Tidak Rana. Kau tidak boleh pupus harapan.
Ingatlah Allah Mahaluas kasih sayang-Nya. Percayalah
ini cuma ujian kecil. Masih banyak hamba
Allah di muka bumi ini yang diuji dengan ujian yang
jauh lebih besar dari yang kaualami. Ayolah Rana,
kau harus tabah! Kau harus tegar! Kau harus kuat!
Kau harus terus maju! Kau tak boleh menyerah. Putus
asa berarti kau menyerahkan dirimu dalam perangkap
setan!"
"Yah doakan aku ya Lin. Semoga aku kuat. Tapi
bagiku ini sangat berat!"
"Aku tahu ini berat, tapi aku yakin kau mampu
menghadapinya Rana. Aku yakin."
"Aku beruntung punya teman sepertimu Lina.
Terima kasih ya Lin...Kau baik sekali!" Lirih Zahrana
dengan mata berlinang-linang.
"Aku juga sangat beruntung punya teman sepertimu
Rana. Aku banyak belajar kesabaran dan ketegaran justru
darimu. Aku selalu berdoa agar kau bahagia."
Pintu diketuk. Seorang dokter berjilbab masuk.
Dengan ramah dokter setengah baya itu memeriksa
kondisi Zahrana. Semua keluhan Zahrana ia dengarkan
dengan penuh perhatian. Sesekali dokter itu menghiburnya
dengan perkataan yang lembut dan menyejukkan.
Senyumnya mengalirkan kesembuhan.
"Jadi, ibu ini Ibu Zahrana yang pengajar di Fakultas
Teknik Universitas Mangunkarsa itu?"
Zahrana mengangguk.
"Berarti ibu kenal dengan anak saya ya?"
"Siapa nama anak Bu Dokter?"
"Namanya Hasan. Hasan Baktinusa."
"O kenal. Bahkan sangat kenal. Selamat ya Bu atas
diwisudanya Hasan sebagai wisudawan terbaik. Salam
buat Hasan. Semoga urusan beasiswanya lancar."
"Ya nanti saya sampaikan. Hasan sering sekali cerita
tentang Bu Zahrana. Terima kasih telah banyak
membantu anak saya."
"Sama-sama, Bu."
Pertemuan dengan dokter berjilbab yang ternyata
ibundanya Hasan itu membuatnya seolah bisa bernafas.
Dokter berjilbab itu juga bisa menyegarkannya dengan
sedikit cerita masa mudanya yang sebenarnya mirip
dengan Zahrana. Bu dokter bernama Zulaikha, biasa
dipanggil Bu Dokter Zul itu ternyata juga menikah dalam
usia yang sangat terlambat.
"Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Diratapi seperti
apapun tak akan kembali. Jodoh itu terkadang dikejarkejar
tidak tertangkap. Tapi terkadang tanpa dikejar
datang sendiri. Yang paling penting adalah dekat dengan
Allah dalam keadaan susah dan bahagia. Senang dan
sedih."
Zahrana seperti mendapatkan suntikan darah segar.
Daya hidupnya tumbuh kembali. Dalam hati dia berkata,
"Ya benar. Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Diratapi
seperti apapun tak akan kembali."
Sebelum pergi Bu Dokter itu berkata, "Ada nasihat
sangat bagus sekali dari Anton Chekov."
"Apa itu Bu?" tanya Zahrana pelan.
"Anton Chekov pernah menulis, 'Suatu saat kamu
perlu untuk tidak memikirkan kesuksesan dan kegagalan.
Jangan biarkan hal itu mengganggu dirimu!' ."
"Nasihat yang baik sekali Bu."
"Ya. Tidak ada salahnya untuk memperkaya jiwa
kaubaca juga karya-karya sastra."
"Terima kasih Bu atas semuanya."
Derita Zahrana ternyata tidak cukup sampai di situ.
Tanpa sepengetahuannya, di rumahnya terjadi musibah
kedua. Pak Munajat, ayahnya, yang memang telah renta
tidak kuat menahan tekanan batin. Ia terkena serangan
jantung. Dengan cepat ia dilarikan ke rumah sakit.
Namun tak tertolong. Nyawanya melayang di perjalanan.
Hari itu ia meninggal menyusul calon menantunya.
Berita kematian Pak Munajat tidak disampaikan
kepada Zahrana. Zahrana baru tahu setelah ia pulang
dari rumah sakit dengan jiwa yang telah kukuh.
Mengetahui ayahnya telah tiada ia menangis, namun
tidak sampai pingsan. Lengkap sudah penderitaan
Zahrana.
Berita pernikahan yang tidak jadi karena pengantin
lelakinya tertabrak kereta api itu dimuat koran
terkemuka Jawa Tengah, Suara Mahardika. Kematian
Rahmad yang mengenaskan masih diselidiki polisi. Polisi
menyelidiki saksi-saksi. Polisi mencurigai orang yang
menelpon Rahmad. Orang itu belum juga ditemukan
dan masih dalam pencarian.
Beberapa hari setelah itu teman-temannya berdatangan
mengucapkan bela sungkawa. Juga temanteman
dosen Fakultas Teknik. Hampir semuanya datang.
Termasuk Bu Merlin dan Pak Karman. Zahrana sangat
kaget ketika Pak Karman datang. Di hadapan Zahrana
Pak Karman berkata pelan sekali,
"Saya ikut berduka. Semoga almarhum berdua
diterima di sisi-Nya. Saya berharap semoga gaun
pengantinmu benar-benar telah kaukembalikan ke Solo!"
Zahrana tersentak. Kata-kata Pak Karman bagai
aliran listrik yang menyengatnya. Kata-kata itu
menguatkan keyakinannya bahwa yang menterornya
selama ini adalah Pak Karman. Dan bagaimana bisa Pak
Karman tahu ia membeli gaun pengantin itu dari Solo.
Tiba-tiba firasatnya mengatakan kematian calon
suaminya ada hubunganya dengan SMS terakhir Pak
Karman. Dan pada hakikatnya, kata-kata Pak Karman
yang baru saja ia dengar adalah satu bentuk teror dahsyat
yang hendak melumpuhkannya saat itu. Tiba-tiba
kekuatannya bangkit. Ia merasa tidak boleh terpancing.
Ia harus bisa mengendalikan diri. Ia harus menang. Ia
harus tenang.
"Terima kasih berkenan datang Pak." Jawabnya
dengan pura-pura tidak memperhatikan perkataan Pak
Karman.
Entah kenapa firasat Zahrana terus mengatakan
bahwa Pak Karman ada di balik kematian calon
suaminya. la ingin lapor polisi, jangan-jangan orang
misterius yang menelpon calon suaminya sebelum
kecelakaan itu adalah Pak Karman, atau suruhannya.
Tapi ia tidak punya bukti. la bingung harus berbuat apa.
la diskusikan kebingungannya itu pada Lina. Hanya Lina
yang kini bisa diajaknya bicara.
"Aku yakin sekali Lin. Iblis tua itu ada di balik
kematian Mas Rahmad. Aku yakin!" kata Zahrana
berapi-api. Lantas ia menunjukkan data-data yang
menguatkan dugaannya itu. Lina menanggapinya
dengan kepala dingin,
"Sudahlah Rana. Jangan menambah rumit masalah. Jangan
merepotkan diri sendiri. Jangan menuduh tanpa bukti!
Salah-salah kau sendiri yang tertuduh nanti!"
"Data-data tadi. SMS saat aku mencoba gaun
pengantin. Perkataannya saat mengucapkan bela sungkawa.
Dan dendamnya kepadaku sehingga ingin memecatku,
tidak bisa dianggap sebagai bukti?" seru Zahrana.
"Aku bukan pakar hukum Rana. Tapi sebaiknya kau
fokus pada yang lain saja. Diikhlaskan saja. Orang yang
ikhlas itu pasti menang. Karena orang yang ikhlas itu
selalu disertai Allah." Sahut Lina pelan. Ia lalu mengambil
koran dari tasnya.
"Apalagi polisi sudah mengumumkan bahwa
kematian Rahmad murni karena kecelakaan. Coba
kaubaca ini baca!" lanjut Lina sambil menyodorkan
koran Suara Mahardika.
Zahrana mengambil koran dari tangan Lina. Dan
membaca berita yang dimaksud Lina. Ia menghela nafas
panjang. Ada rasa kecewa dalam tarikan nafasnya. Lina
menangkapnya. Lina berusaha menghibur,
"Sudahlah Rana, sabarkan dirimu. Kuatkan imanmu.
Ini ujian bagimu dari Allah, apakah kau jadi hamba-
Nya yang pilihan apa tidak. Kata Rasulullah, semua
perkara bagi orang Mukmin itu baik. Jika dapat nikmat
bersyukur, dan jika dapat musibah bersabar. Semoga
musibah ini jadi pahala." Lanjut Lina.
"Sebaiknya kautenangkan diri. Nanti ikhtiar lagi."
Zahrana mengangguk. Dalam hati Zahrana bertekad
untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah.
Ia teringat perkataan Bu Nyai saat memberikan ucapan
bela sungkawa,
"Kita semua milik Allah dan akan kembali kepada
Allah. Kita semua tunduk pada takdir-Nya. Yang Paling
berkuasa di atas segalanya adalah Allah Swt."
Sejak itu, Zahrana nyaris tidak pernah meninggalkan
shalat malam. Ia labuhkan segala keluhkesah
dan deritanya kepada Yang Maha Menciptakan.
Ia pasrahkan dirinya secara total kepada Allah. Dalam
keheningan malam ia berdoa,
"Ya Rabbi, ikhtiar sudah hamba lakukan, sekarang
kepada-Mu hamba kembalikan semua
urusan. Ya Rabbi, aku berlindung kepada-Mu dari
semua jenis kejahatan yang terjadi di atas muka bumi
ini. Ya Rabbi, aku memohon kepada-Mu segala
kebaikan yang Engkau ketahui. Dan aku berlindung
kepada-Mu dari segala hal buruk yang Engkau
ketahui."

0 Comments:

Post a Comment



Cerita sohib gue

yang nongkrongin blog gue

jumlah pengunjung