CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Senin, 02 Maret 2009

Kisah cinta zahrana 2

Bab 2

Lima menit sebelum rombongan Pak Karman
datang, Zahrana berbicara kepada kedua orangtuanya.
Ia minta kepada mereka pengertiannya jika ia nanti
mengambil keputusan yang mungkin tidak melegakan
mereka berdua. Diberitahu seperti itu kedua orangtuanya
menangkap apa yang akan terjadi. Dan mereka kembali
pasrah dalam kekecewaan. Namun mereka tetap
berharap akan terjadi hal yang membahagiakan. Mereka
berdoa, kali ini semoga keputusan putri semata wayang
mereka lain dari sebelum-sebelumnya. Semoga hatinya
terbuka. Segera menikah. Dan segera lahir cucu yang
jadi penerus keturunan.
1 Kamu mikir apa, Anakku? Kamu menunggu apa? Kapan kamu menikah,
Anakku?
la meneguhkan jiwa, menata hati. la juga memprediksi
gaya bahasa yang akan disampaikan pihak Pak
Karman. Dan menyiapkan bahasa yang tepat untuk
menjawab. la juga tidak lupa menyiapkan hidangan yang
pantas untuk menghormati tamu. Ruang tamu telah ia
rapikan. Bunga-bunga ia tata, dan sarung bantal ia ganti
dengan yang baru. Tuan rumah harus bisa menjaga
kehormatan. Dan ia kembali meneguhkan prinsipnya
dalam menghadapi siapapun: harus tenang, bicara yang
tepat, rendah hati dan santun. Itulah senjata para
pemenang. Dan ia harus menang. Ia teringat perkataan
Napoleon Hill,
"Kebijakan yang sesungguhnya, biasanya tampak
melalui kerendahan hati dan tidak banyak cakap."
Ia kini tampak tegar. Tak ada lagi airmata. Mental
yang ia siapkan adalah mental seorang dosen pembimbing
yang siap maju sidang membela mahasiswanya
mempertahankan skripsinya. Ia sangat yakin akan
kekuatannya.
Ia berdandan secukupnya. Ia pakai jilbab hijau
muda kesayangannya. Sangat serasi dengan gamis
bordir hijau tua bermotif bunga melati putih kecil-kecil.
Hanya dirinya dan kedua orangtuanya yang akan
menyambut. Ia merasa tak perlu mengundang para
kerabat. Sebab seperti yang telah lalu, jika terjadi hal
yang tidak memuaskan hanya akan jadi gunjingan
panjang tak berkesudahan. Ia tak ingin itu terjadi lagi.
Ia ingin para kerabat diundang hanya untuk yang
sudah jadi. Yang tak ada ruang bagi mereka berbincang
kecuali kebaikan. Kali ini yang ia undang justru dua
orang ibu-ibu yang biasa membantu keluarganya
selama ini.
Rombongan Pak Karman datang tepat jam setengah
lima sore. Tidak main-main. Empat mobil. la harus
mengakui kehebatan Bu Merlin mengorganisir ini semua.
Juga keberhasilan Bu Merlin memprovokasi Pak Karman
untuk nekat seperti ini. Ayah ibunya tampak kaget. Tidak
menduga yang datang akan sebanyak ini dan seserius
ini. Untung ruang tamu rumah orangtuanya cukup luas.
Hanya tiga orang yang tidak dapat tempat duduk.
Terpaksa duduk di beranda.
la yakin tujuan Bu Merlin baik, hanya saja Bu Merlin
tidak tahu visi hidupnya saat ini. Bukan sekadar materi
dan kedudukan yang ia harapkan dari calon suaminya.
la mencari calon suami yang bisa dijadikan imam. Imam
yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam ibadahnya
kala mengarungi kehidupan. Karena itulah posisinya
benar-benar sulit kali ini. Bu Merlinlah yang selama ini
banyak membantunya di kampus. Dia jugalah yang dulu
memberi bocoran adanya lowongan dosen di kampusnya.
Rombongan telah duduk tenang. Pak Karman
menyukur bersih kumis dan cambangnya. Ia tampak
lebih muda dari biasanya. Koko biru muda dan peci hitam
membuatnya tampak alim. Seorang lelaki setengah baya,
mengaku sebagai adiknya Pak Karman, namanya Pak
Darmanto mengawali pembicaraan. Unggah-ungguh
dan basa-basi berjalan. Ia sendiri lebih banyak diam. Tak
bicara jika tidak perlu bicara. Ibunya yang biasanya
memang cerewet yang banyak mengimbangi bicara.
Sesekali ada lelucon-lelucon yang menghangatkan
suasana. Makanan dan minuman dikeluarkan oleh dua
orang ibu-ibu yang rapi berkerudung.
"Tape ketan ini dibuat oleh anakku, si Zahrana ini
dengan penuh cinta. Siapa yang memakannya insya
Allah awet muda." Ibunya melucu sambil mempersilakan
tamu-tamunya menikmati hidangan seadanya. Mendengar
hal itu spontan Pak Karman berkomentar dengan
gaya lucu,
"Sebelum yang lain mengambil saya dulu yang harus
mencicipi. Agar awet muda dan bisa menyunting
bidadari."
Spontan perkataan itu disambut tertawa semua yang
hadir, kecuali dirinya. Entah kenapa perkataan itu
menurutnya tidak lucu. Perkataan itu seperti sampah
yang hendak dijejalkan ke telinganya. Bagaimana
mungkin ia hidup bersama orang yang suaranya saja
tidak mau ia dengar.
Lima belas menit basa-basi akhirnya Pak Darmanto,
juru bicara Pak Karman, masuk pada inti kedatangan,
"...dan maksud kedatangan kami adalah untuk
menyambung persaudaraan dan kekeluargaan dengan
keluarga Bapak Munajat. Kami bermaksud menyunting
putri Bapak Munajat, yaitu Dewi Zahrana untuk saudara
kami Bapak H. Sukarman, M.Sc. Alangkah bahagianya
jika maksud dan tujuan kami dikabulkan."
Ayahnya menjawab dengan suara rentanya yang
terbata-bata,
"Pertama....tama, ka...kami sekeluarga menyampaikan
rasa terima kasih atas silaturrahminya. Kami juga
bahagia. Bagi ka..kami lamaran ini adalah suatu bentuk
penghormatan. Dan jika bisa kami akan membalasnya
dengan penghormatan yang le..lebih baik. Namun
masalah jodoh hanya Allahlah yang mengatur. Putri kami
sudah sangat dewasa. Dia lebih berpendidikan daripada
kami berdua. Dia bisa memutuskan sendiri mana yang
baik baginya. Itu yang bisa kami sampaikan."
Masalah sudah jelas. Semua tamu melihat ke
arahnya. la tahu bola sekarang ada di tangannya. Dialah
sekarang yang paling berkuasa di majelis itu. la berusaha
untuk tenang. Setenang ketika ia membantu argumen
mahasiswa yang dibelanya dalam sidang skripsi,
"Saya pernah mendengar Baginda Nabi Muhammad
Saw., pernah bersabda, 'Al 'ajalatu minasy syaithan.
Tergesa-gega itu datangnya dari setanl' Saya tidak mau
tergesa-gesa. Saya tidak mau mengecewakan siapapun.
Termasuk diri saya sendiri. Maka perkenankan saya
untuk menjawabnya tiga hari ke depan. Saya akan
langsung sampaikan kepada Pak Karman yang saya
hormati. Maafkan jika saya tidak bisa menjawab
sekarang."
Ada sedikit gurat kekecewaan di wajah Pak Darmanto
dan Pak Karman. Namun keduanya tidak bisa
bersikap apapun kecuali setuju. Bu Merlin tersenyum
tanda setuju. Yang lain bisa memahami dan memaklumi.
Hanya Pak Munajat, ayahnya yang meneteskan airmata
mendengar jawaban putrinya itu. Ia sudah tahu ke mana
arah perkataan putrinya itu.
Menjelang Maghrib rombongan itu pamit. Zahrana
langsung ke kamarnya mengatur kata yang tepat untuk
disampaikan pada Pak Karman. Ia tersenyum, dengan
senyum yang susah diartikan.

0 Comments:

Post a Comment



Cerita sohib gue

yang nongkrongin blog gue

jumlah pengunjung