CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Senin, 02 Maret 2009

Kisah cinta zahrana 3

Bab 3

"Kamu masih nunggu yang bagaimana lagi, Nduk?
Pak Karman memang agak tua, tapi ia berpendidikan
dan kaya. Dia juga bisa tampak muda." Kata ibunya
yang sudah tahu keputusannya.
"Saya tidak menunggu yang bagaimana-bagaimana
Bu. Saya menunggu lelaki saleh yang pas di hati saya.
Itu saja." Jawab Zahrana.
"Lha Pak Karman itu apa masih kurang saleh. Dia
sudah haji. Sudah menyempurnakan rukun Islam. Kita
saja belum." Bantah ibunya.
Ia merasa, memang agak susah memahamkan
ibunya bahwa kesalehan tidak dilihat dari sudah haji atau
belum. Tidak dilihat dari pakai baju koko atau tidak.
Tidak bisa dilihat dari pakai peci putih atau peci yang
lainnya. Betapa banyak penjahat di negeri ini yang
bertitel haji. Setiap tahun haji justru untuk menutupi
kejahatannya. Atau malah berhaji untuk melakukan
kejahatan di musim haji. Ibunya tidak akan nyambung
dia ajak dialog masalah itu.
"Pokoknya menurutku Pak Karman masih kurang.
Saya sangat tahu siapa dia, soalnya saya satu kampus
dengannya. Nanti kalau ada yang cocok pasti saya
menikah Bu."
Begitu mendengar dari jawabannya ada perkataan
"pokoknya", sang ibu langsung diam dengan raut muka
sedih. Dalam hati ia istighfar jika telah melukai ibunya.
Tapi ia tidak mau asal menikah. Menikah adalah ibadah,
tidak boleh asal-asalan. Harus dikuati benar syarat
rukunnya. Meskipun ia tahu ia sudah jadi perawan tua
yang sangat terlambat menikah, namun ia tidak mau
gegabah dalam memilih ayah untuk anak-anaknya
kelak.
Zahrana masuk kamar dan menulis surat jawaban
untuk Pak Karman dengan komputernya. Bahasanya
tegas dan lugas:
Kepada
Yth. Bpk. H. Sukarman, M.S.c
Di Semarang
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Semoga Bapak senantiasa sehat dan berada dalam
naungan hidayah-Nya.
To the point saja, tanpa mengurangi rasa hormat saya
kepada Bapak, saya ingin menyampaikan bahwa saya
belum bisa menerima pinangan Bapak. Semoga Bapak
mendapatkan yang lebih baik dari saya. Mohon maklum
dan mohon maaf jika tidak berkenan.
Wassalam,
Dewi Zahrana
la lalu menge-print surat itu dan memasukkannya
ke dalam amplop putih. Ia akan minta bantuan seorang
mahasiswanya untuk menyampaikan hal itu kepada Pak
Karman besok pagi. Dan ia sudah berketetapan akan
mengambil cuti satu minggu. Sebab jawaban itu pasti
tidak diinginkan oleh Pak Karman. Bahkan pasti sangat
mengecewakan Pak Karman. Untuk menjaga hal yang
tidak baik, lebih baik ia tidak masuk kampus. Dan
kembali masuk jika suasana kembali seperti sediakala.
Apa yang ia rencanakan berjalan. Dan apa yang ia
prediksi terjadi.
Dua hari kemudian ia mendapatkan SMS dari Pak
Karman:
"Suratmu sudah aku terima. Kamu pasti tahu bahwa
jawabanmu sangat mengecewakan aku!"
Ia membaca jawaban itu dengan hati tidak enak.
Entah kenapa ia merasakan ada aroma jahat dalam setiap
huruf-hurufnya dan susunan kalimatnya.
Lalu ia mendapat SMS dari Bu Merlin:
"Hari ini saya dicacimaki Pak Karman gara-gara
jawabanmu. Saya sungguh kecewa dengan kamu!"
Airmatanya meleleh.
"Maafkan aku Bu Merlin," lirihnya dengan hati perih.
Ia merasakan dunia ini begitu sempit. Dinding-dinding
kamarnya seakan hendak menggenjetnya. Atap kamarnya
seakan mau rubuh menimpanya. Ia hanya bisa
pasrah kepada-Nya dan memohon kekuatan untuk tetap
kuat dan tegar di jalan-Nya.
Firasatnya benar. Lima hari setelah ia mengirim
jawaban itu, Bu Merlin datang ke rumahnya. Saat itu ia
masih mengambil cuti. Bu Merlin datang dengan mimik
serius. Mimik yang ditakuti oleh para bawahannya,
apalagi para mahasiswa. Pembantu Dekan I di kampusnya
itu berkata,
"Zahrana, kamu memang bebas menentukan
pilihanmu. Namun terus terang saya tidak mengerti apa
maumu. Saya tak perlu berdusta padamu, saya sangat
kecewa padamu. Padahal saya telah berusaha melaku-
kan yang terbaik, untukmu dan juga untuk Pak Karman.
Namun agaknya ini semua berantakan karena keangkuhanmu."
"Bu tolong ibu juga mengerti saya. Saya telah
berusaha menata hati dan jiwa untuk menerima Pak
Karman. Saya tidak mau karena saya sudah terlambat
menikah, lantas saya menikah untuk seolah-olah bahagia.
Saya tidak mau batin saya justru menderita. Karena saya
benar-benar tidak bisa menerima Pak Karman. Saya
tidak mau, setelah menikah sosok Pak Karman justru jadi
monster yang menghantui saya setiap saat. Saya sama
sekali tidak bisa mencintainya Bu. Meskipun sebutir
zarrah. Ibu kan juga seorang perempuan. Saya mohon
ibu bisa memaklumi." Zahrana menjawab panjang lebar
dengan mengajak bicara dari hati ke hati.
"Kalau masalahnya sudah cinta. Tak ada orang di
muka bumi ini yang bisa memaksa. Meskipun saya kecewa
saya tetap menginginkan yang terbaik untukmu. Sejak
mengenalmu aku tahu kau orang baik. Begini Zahrana,
saya lihat gelagat Pak Karman berniat memecatmu
dengan satu tuduhan serius yang akan sangat mempermalukanmu.
Ia mengisyaratkan hal itu kemarin setelah
membaca suratmu. Sekadar saran dariku lebih baik kau
mundur dengan terhormat daripada dipecat! Jika marah
Pak Karman bisa lupa bumi di mana ia berpijak."
"Apa Bu? Mundur?" Jawab Zahrana dengan nada
kaget.
"Iya Zahrana. Sebaiknya kau mengundurkan diri
saja. Itu saranku sebagai orang yang sangat paham peta
politik di kampus."
"Tidak Bu. Jika terjadi ketidakadilan, akan saya lawan
sampai titik darah penghabisan!"
"Zahrana, kamu ternyata tidak tahu benar peta
politik kampus. Tidak tahu benar siapa Pak Karman. Jika
kau nekat itu ibarat ulo marani gitik. Ibarat ular mendekat
untuk dipukul sampai mati. Mundurlah dulu. Bertiaraplah
sementara waktu. Ini yang kulihat baik
untukmu. Saya berjanji suatu saat nanti jika saya ada
kemampuan, kamu akan saya tarik lagi ke kampus. Kali
ini percayalah padaku. Saya tidak rela orang sebaik kamu
jadi bulan-bulanan kesewenang-wenangan yang sudah
saya cium dari sekarang."
Zahrana akhirnya paham dengan apa yang disampaikan
Bu Merlin. Dari nada dan tuturkata yang
disampaikan ia melihat ada kesungguhan dan ketulusan.
Namun ia belum bisa mengambil sikap dengan cepat.
Sekali lagi ia harus tenang dan tidak gegabah,
"Baiklah Bu. Saya mengerti. Akan saya pikirkan
matang-matang saran Ibu. Saya sangat berterima kasih."
"Saya harap begitu. Kalau begitu saya pamit dulu.
Masih ada urusan yang harus saya kerjakan." Kata Bu
Merlin.
Zahrana sadar Bu Merlin masih tetap menyimpan
rasa sayang padanya, meskipun ia telah mengecewakannya.
Bu Merlin juga tetap setia pada prinsip hidupnya:
Memaksimalkan manfaat meminimalisir konflik. Jika
masih ada jalan menghindari konflik, maka jalan itulah
yang harus ditempuh.
Setelah Bu Merlin pergi Zahrana langsung mengendarai
sepeda motornya ke rumah Lina, temannya paling
akrab sejak di SMP sampai Perguruan Tinggi. la perlu
orang yang bisa diajak bicara memutuskan masalahnya.
"Apa sejahat itu Pak Karman?" tanya Lina pada
Zahrana.
"Aku tak ingin membicarakan kejahatannya. Yang
jelas apa yang sebaiknya kulakukan setelah mendengar
saran Bu Merlin."
"Yang paling penting menurutku adalah, apa
kaupercaya dengan apa yang disampaikan Bu Merlin?"
Zahrana menjawab dengan memandang lekat-lekat
teman karibnya itu,
"Sampai saat ini saya belum pernah dibohongi Bu
Merlin. Saya percaya padanya."
"Kalau begitu masalahnya jelas. Pak Karman itu
sedang sangat tersinggung dan marah besar karena kamu
tolak. Dia merasa tidak nyaman berada satu atap
denganmu di kampus. Dan Bu Merlin melihat dia akan
membuat perhitungan denganmu."
"Jadi?"
"Kalau aku jadi kau, aku memilih mengundurkan
diri dengan baik-baik, daripada dipecat dengan
membawa nama tercemar. Pak Karman tentu lebih kuat
posisinya daripada kamu. Ingat dia orang nomor satu di
Fakultas tempat kamu mengajar."
"Aku tahu. Tetapi jika aku keluar, lantas nanti apa
yang harus aku katakan pada ayah dan ibu?"
"Kau kayak anak kecil aja. Cari pekerjaan baru.
Dengan begitu kau bisa berdalih degan seribu alasan
yang menyejukkan mereka. Bisa kaukatakan tidak
kerasan lagi di kampus. Cari pengalaman baru dan lain
sebagainya."
Akhirnya ia mantap untuk mengundurkan diri.
"Kau benar Lin. Besok aku akan mengundurkan
diri."
"Nanti kubantu cari pekerjaan yang cocok untukmu."
"Kau memang sahabatku yang baik Lin."

0 Comments:

Post a Comment



Cerita sohib gue

yang nongkrongin blog gue

jumlah pengunjung