CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Senin, 02 Maret 2009

Kisah cinta zahrana 6

Bab 6

Zahrana baru saja masuk kelas, ketika kepala
sekolah memanggilnya. Ia bertanya-tanya dalam hati,
"Ada apa sepagi ini kepala sekolah memanggilnya." Ia
bergegas ke ruang kepala sekolah dengan kepala berisi
tanda tanya.
"Bu Rana, saya baru saja ditelpon sama Bu Nyai Dah.
Beliau minta kau menghadap beliau sekarang juga."
Begitu kata kepala sekolah begitu ia sampai di ruang kerja
beliau. Zahrana langsung tahu kenapa Bu Nyai memanggilnya.
Ia langsung bergegas ke ndalem Bu Nyai Dah.
Bu Nyai Dah ternyata sudah menunggunya sambil
membaca Al-Quran. Begitu Zahrana sampai beliau
menghentikan bacaannya.
"Duduklah, Anakku."
Ia duduk dengan kepala menunduk.
"Begini, Anakku. Pak Kiai punya seorang santri yang
sudah tiga tahun ini meninggalkan pesantren. Dia santri
yang dulu sangat diandalkan Pak Kiai. Namanya Rahmad.
Pendidikannya tidak tinggi. Ia hanya tamat Madrasah
Aliyah. Tidak kuliah. Karena setelah itu dia mengabdi
di pesantren ini. Baik akhlak dan ibadahnya. Tanggung
jawabnya bisa diandalkan. Ia dari keluarga pas-pasan.
Anak kedua dari tujuh bersaudara. Pekerjaannya sekarang
jualan kerupuk keliling. Dia duda tanpa anak. Isterinya
meninggal satu tahun yang lalu karena demam berdarah.
Itulah informasi yang bisa aku berikan. Musyawarahkanlah
dengan kedua orangtuamu dan kerjakanlah shalat
Istikharah. Jika kamu ingin dan tertarik, beritahukan
Ummi. Nanti kita carikan jalan terbaik."
"Baiklah, Ummi. Terima kasih. Saya akan musyawarah
dan Istikharah dulu. Saya pamit dulu Ummi,
karena tadi kelas saya tinggalkan." Jawab Zahrana.
"Ya. Semoga barakah, Anakku!"
Zahrana berjalan ke kelas dengan telinga yang
mendengungkan apa yang disampaikan Bu Nyai:
"...Ia dari keluarga pas-pasan. Anak kedua dari tujuh
bersaudara. Pekerjaannya sekarang jualan kerupuk
keliling. Dia duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu
tahun yang lalu karena demam berdarah...!"
Sambil berjalan ia menirukan ucapan Bu Nyai,
"Pekerjaannya sekarang jualan kerupuk keliling. Dia
duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu tahun!"
"Hmm penjual kerupuk keliling. Apakah memang
takdirku jadi isteri seorang penjual kerupuk keliling?"
gumamnya sendiri.
Ada dialog yang cukup serius dalam dirinya.
"Tapi meskipun penjual kerupuk keliling. Ia adalah
orang yang baik akhlak dan ibadahnya. Tanggung
jawabnya bisa diandalkan. Toh aku sudah bilang pada
Bu Nyai bahwa status, strata, kedudukan sosial,
pendidikan dan lain sebagainya tidak jadi pertimbangan
lagi. Yang aku inginkan adalah suami yang baik
agamanya. Baik imannya dan bisa jadi teladan untuk
anak-anak kelak. Apakah aku harus mempersoalkan
pekerjaannya yang cuma penjual kerupuk keliling?"
Sampai di kelas ia tidak konsentrasi mengajar.
Akhirnya ia memberi pekerjaan kepada para siswa. Jam
ketiga ia ijin pulang ke rumah dengan alasan ada
kepentingan yang sangat penting berkaitan dengan
permintaan Bu Nyai. Jika alasannya Bu Nyai, tidak ada
yang berani membantah.
Sampai di rumah ia mengajak musyawarah ayah dan
ibunya. Keduanya mendorongnya untuk maju.
"Kemuliaan hidup seseorang itu tidak karena
pendidikannya atau pekerjaannya. Seseorang jika
dimuliakan oleh Allah akan juga mulia di mata manusia."
Demikian kata ibunya.
Ia mulai man tap.
Namun merasa masih belum cukup. Ia lalu menelpon
Lina. Dari jauh Lina menjawab,
"Dia kan lulusan aliyah. Nanti jika kalian sudah
menikah dan hidup mapan. Minta saja dia kuliah.
Dengan begitu dia akan selesai S.l dan jarak pendidikan
tidak terlalu jauh. Dan sebenarnya dengan dia mengabdi
di Pesantren bertahun-tahun dia telah mendapatkan
pelajaran hidup yang lebih matang dari mata kuliah di
Program Pascasarjana sekalipun. Sudah mantaplah Ran.
Pak Kiai dan Bu Nyai pasti berusaha mengarahkan yang
terbaik."
Mantap sudah hatinya. Niatnya sudah bulat. Untuk
semakin memantapkan ia pun Istikharah. Setelah
Istikharah rasa mantapnya semakin besar. Hari itu juga
ia menelpon Bu Nyai dan menjelaskan kemantapannya.
Bu Nyai menjawab,
"Baiklah coba jelaskan alamat rumahmu!"
"Saya tinggal di Perumahan Klipang Asri. Jalan
Madukara B-15."
"Besok satu hari penuh jangan ke mana-mana. Pak
Kiai akan meminta si Rahmad itu berjualan ke perumahan
di mana kau tinggal. Kau belilah kerupuk darinya,
dan kau boleh bertanya apa saja padanya. Biasa saja. Dia
tidak tahu apa-apa masalah ini. Dengan begitu kau bisa
tahu dengan jelas calon suamimu itu. Jika kau masih juga
mantap, maka bisa diteruskan. Jika tidak ya tidak apaapa."
"Baik Bu Nyai." Jawabnya.
Dari situ ia tahu betapa demokratisnya Bu Nyai.
Betapa bijaksananya Bu Nyai. Betapa Bu Nyai memang
tidak mau memaksa. Ia kemudian jadi takut. Janganjangan
ia yang nanti mau, tapi si penjual kerupuk itu
justru yang tidak mau dengan alasan minder dan lain
sebagainya. Ia mendesah nafas panjang. Biarlah waktu
yang menjawabnya, desahnya.

0 Comments:

Post a Comment



Cerita sohib gue

yang nongkrongin blog gue

jumlah pengunjung