CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Senin, 02 Maret 2009

Kisah cinta zahrana 10

Bab 10

Bulan Ramadhan datang. Zahrana semakin menikmati
ibadahnya. Selesai Tahajjud, Zahrana menyiapkan
sahur. Ibunya masih tidur. Begitu semua siap, Zahrana
membangunkan ibunya dengan penuh kelembutan.
Sang ibu lalu cuci muka, kemudian makan sahur.
Rumah itu terasa begitu sunyi. Hanya Zahrana dan
ibunya yang duduk di meja makan itu.
"Ramadhan tahun lalu, kita masih makan sahur
bersama ayahmu ya Nak."
"Iya Bu. Sudahlah Bu jangan diingat itu lagi."
"Apakah aku masih berkesampatan melihat kau
duduk di pelaminan ya Nak."
"Sudahlah Bu. Kita serahkan semuanya kepada Allah.
Jika Allah menghendaki apapun bisa terjadi."
Selesai sahur Zahrana membaca Al-Quran sementara
ibunya shalat. Begitu azan Subuh berkumandang
mereka berdua pergi ke masjid. Selain untuk shalat
Subuh berjamaah mereka juga ingin mendengarkan
Kuliah Subuh yang diadakan selama Bulan Suci
Ramadhan.
Habis dari masjid Zahrana mengajak ibunya
berjalan-jalan menghirup udara pagi keliling komplek
perumahan. Mereka berdua masuk rumah ketika
matahari sudah terang bersinar di ufuk. Zahrana
langsung mandi dan bersiap-siap mengajar.
Jam tujuh kurang sepuluh menit ia sudah sampai di
kantor STM Al Fatah. Waktu sepuluh menit sebelum bel
berbunyi ia gunakan untuk membaca koran. Ia penasaran
pada sebuah judul berita: KARENABERBUAT CABUL,
SEORANG DEKAN MATI DIBUNUH DI RUANG
KERJANYA.
"Semarang - Sepandai-pandai orang menyimpan
bangkai, akhirnya kecium juga. Peribahasa ini agaknya
layak untuk S (55 tahun), Dekan Fakultas Teknik
Universitas Mangunkarsa Semarang. Perilaku cabulnya
kepada mahasiswi yang selama ini disembunyikannya
akhirnya terkuak. Ia tewas mengenaskan di ruang
kerjanya ditikam oleh H (26 tahun) mahasiswa Fakultas
Teknik yang marah karena isterinya bernama M (24
tahun) diperlakukan tidak senonoh oleh dekan jebolan
universitas terkemuka dari Amerika Serikat itu. Dua
mahasiswa suami isteri itu, H dan M kini ditahan pihak
berwajib untuk penyelidikan lebih lanjut...."
Zahrana berkata pelan dalam hati, "Becik ketitik olo
kethoro!"2 Ia lalu bertakbir dalam hati. Ia merasa doanya
dikabulkan oleh Allah. Yang jahat itu akhirnya mendapatkan
balasannya sendiri.
Setelah itu ia masuk kelas dengan penuh semangat.
Anak-anak didiknya ia ajak ke perpustakaan. Ia
menugaskan kepada mereka untuk membaca buku yang
berkenaan dengan puasa. Puasa dan hubungannya
dengan kesabaran. Seorang siswa yang kritis protes,
"Kok tugasnya membaca buku tentang puasa Bu.
Memang pelajaran kita ini pelajaran agama. Pelajaran
kita kan tentang menggambar teknik listrik Bu?"
Dengan tersenyum Zahrana menjawab,
"Justru itulah karena dalam menggambar teknik
listrik memerlukan kesabaran yang tinggi. Maka ibu
ingin kalian memiliki ruh kesabaran itu. Mumpung kita
masuk bulan puasa. Ayo kita kaji hubungan puasa
dengan kesabaran. Dan hubungan puasa dengan
penghematan. Dan juga hubungan puasa dengan prestasi
umat Islam. Kita ke perpustakaan selama dua jam
pelajaran. Kalian membaca yang serius. Hasil bacaan
kalian, kalian presentasikan satu per satu minggu depan."
Anak-anak siswa kelas satu itu sangat gembira.
Sebab diajak oleh guru masuk ke perpustakaan yang
2 Peribahasa Jawa, artinya: perbuatan baik akan diketahui, perbuatan buruk
juga akan tampak.
75 74
jarang mereka dapatkan. Bagi mereka, cara Bu Zahrana
mengajar itu berbeda dengan guru-guru yang lain. Selalu
ada hal yang baru. Mata pelajaran menggambar teknik
listrik di tangan Bu Zahrana jadi pelajaran yang sangat
mengasyikkan. Bisa masuk ke banyak hal tanpa
kehilangan fokus utama pelajaran.
Sore itu setelah shalat Ashar Zahrana pergi ke warung
untuk membeli kelapa, gula merah, dan tepung terigu.
la ingin membuat kolak untuk buka puasa. Juga
membuat mendoan dan bakwan. Ibunya ternyata sudah
menyiapkan es degan. Sudah dimasukkan di lemari es
sejak siang.
Pulang dari warung ia agak terkejut, sebab ada mobil
sedan tepat di depan rumahnya. Ia menduga-duga siapa
yang datang. Setelah masuk ia tahu kalau yang datang
ternyata Bu Dokter Zulaikha, ibundanya Hasan.
"Dari mana Bu Zahrana?" tanya Bu Zul.
"Dari warung Bu Zul, ini beli bahan-bahan untuk
bikin kolak. Sendirian ya Bu?"
Iya.
"Hasan apa kabarnya? Urusan beasiswanya ke
Malaysia beres semua?"
"Alhamdulillah Hasan baik-baik saja. Dia titip salam.
Dia tadi masih sibuk nulis-nulis entah nulis apa."
"Senang ibu berkenan dolan ke sini. Ini mampir atau
memang menyengaja ke sini?" tanya Zahrana santai.
"Menyengaja ke sini em..."
Ibunda Zahrana yang sedari tadi diam menyela,
"Nak, Bu Zul ini datang karena ada keperluan
penting denganmu. Katanya ada hal serius yang ingin
beliau konsultasikan denganmu. Sini biar ibu yang bikin
kolak, kau bisa bincang-bincang dengan beliau."
Bu Zul langsung menimpal, "Maaf jika kedatangan
saya mengganggu."
"O nggak apa-apa Bu," sahut Ibunda Zahrana cepat,
"saya tinggal ke belakang dulu ya Bu. Silakan bicara
dengan Zahrana," lanjutnya lalu pergi ke arah dapur.
Zahrana diam, Bu Zul pun diam. Suasana hening
sesaat.
"Eh..konsultasi apa ya Bu?" Zahrana memecah
keheningan.
"Eh ini. Tentang Hasan, anak saya."
"Ada apa dengan Hasan, Bu?"
"Sebelumnya maaf ya Bu, saya tidak bermaksud
menyinggung siapa-siapa lho. Karena saya tahu, ibu
termasuk yang didengar omongannya oleh Hasan,
maka saya konsultasi sama Bu Zahrana. Begini, dua
hari yang lalu Hasan minta nikah Bu. Menurut ibu
bagaimana? Padahal dia kan mau kuliah di Malaysia
Bu."
Zahrana mengerutkan dahi,
"Kalau menurut saya pribadi tidak ada salahnya
Hasan menikah baru ke Malaysia. Kalau bisa isterinya
dibawa, kalau tidak bisa ya tidak apa-apa isterinya
ditinggal di Indonesia. Toh Malaysia-Indonesia itu dekat.
Sekarang tiket pesawat juga murah."
"Apa menurut Ibu, Hasan sudah layak menikah?
Sudah layak punya isteri? Dan bisa bertanggung jawab
menghidupi anak jika punya anak?"
"Pendapat saya ini sangat subjektif dari saya Bu.
Menurut saya Hasan sudah sangat layak menikah.
Selama saya tahu dia di kampus, dia bisa diandalkan
tanggung jawab dan kepemimpinannya. Kenapa Ibu
masih ragu dengan anak sendiri?"
"Saya tidak ragu Bu. Tapi saya mencari kemantapan.
Biar mantap jika saya melepas Hasan ke dunia baru yang
penuh perjuangan dan aral melintang."
"Mantap saja Bu. Menikah dini bagi orang seperti
Hasan itu baik. Saya saja menyesal tidak menikah dini
dulu."
"Itulah kenapa saya kemari. Selain tentang diri
Hasan, saya ingin berdiskusi pada ibu tentang calon yang
diajukan Hasan."
"Semoga saja saya kenal dengan calon Hasan itu.
Dia kuliah sama dengan Hasan di Fakultas Teknik?"
"Tidak Bu. Saya langsung saja ya Bu. Maaf
sebelumnya, Hasan meminta kepada saya untuk
melamar Bu Zahrana. Calon yang diajukan Hasan, anak
saya itu Ibu."
Zahrana kaget bagai disambar Halilintar.
"S...saya Bu?!"
"Iya. Ibu. Anak saya ingin menikahi ibu!"
"Maaf, Bu. Mungkin Hasan cuma bercanda. Saya
tidak pernah berlaku yang tidak-tidak sama Hasan Bu,
sungguh." Jawab Zahrana dengan nada takut dan kuatir.
la kuatir jika Bu Zul itu datang untuk membuat
perhitungan dengannya. Takut kalau ia dianggap
berhubungan dengan Hasan.
"Nggak Bu, Hasan tidak bercanda. Anakku sangat
serius dalam hal ini."
"Kalau begitu Hasan salah pilih, Bu."
Bu Zul malah tersenyum,
"Bu Zahrana kok kelihatannya takut ada apa tho, Bu?"
"Ibu harus percaya pada saya Bu. Saya tidak punya
hubungan apapun dengan Hasan kecuali dosen dengan
muridnya Bu. Sungguh Bu!?"
Bu Dokter Zul itu geleng-geleng kepala dan
tersenyum. Dia langsung paham maksud Zahrana.
"Bu Zahrana, saya tidak pernah menuduh begitu.
Saya percaya pada ibu. Juga percaya pada anak saya.
Saya datang kemari untuk menunaikan janji saya pada
anak saya itu. Saya berjanji akan membantunya
menyunting gadis manapun yang ingin dinikahinya
selama akhlak dan agamanya bagus. Dan ketika Hasan
ingin menyunting Bu Zahrana, saya langsung setuju.
Sebab saya sudah tahu semuanya tentang ibu dari teman
ibu, yaitu Bu Lina. Saya berharap. Dan sangat berharap
Bu Zahrana tidak menolak pinangan ini. Ini pinangan
serius tapi belum resmi. Jika Bu Zahrana serius nanti saya
akan meminang secara resmi dengan membawa Hasan
dan ayahnya juga beberapa anggota keluarga."
Zahrana tidak tahu harus menjawab apa. Apa yang
disampaikan Bu Zul itu sangat jelas ia dengar dan sangat
jelas maksudnya. Tak ada yang tersembunyi lagi.
"Diam berarti menerima. Saya pamit Bu, mana
ibunda tadi?"
Zahrana tersentak mendengar Bu Zul mau pamit. Ia
berdiri mengikuti Bu Zul yang sudah berdiri.
"Ibu benar-benar serius?"
"Iya."
"Hasan juga benar-benar serius?"
"Iya."
"Kalian sudah tahu kekuranganku dan mau menerimaku?"
"Iya. Tak ada manusia yang sempurna."
"Kalau begitu saya terima, tapi dengan syarat."
"Apa syaratnya?"
"Akad nikahnya nanti malam bakda shalat Tarawih
di masjid. Biar disaksikan oleh seluruh jamaah masjid.
Maharnya seadanya saja."
Kini gantian Bu Zul yang tersentak kaget. Ia tidak
menduga Bu Zahrana akan mensyaratkan begitu.
"Apa nggak sebaiknya akadnya setelah Idul Fitri
saja."
"Tidak. Ibu sudah tahu kan cerita saya selama ini.
Apa ibu ingin saya mati kaku gara-gara saya tidak jadi
nikah lagi. Saya tidak ragu dengan keseriusan ini. Saya
hanya kuatir ada hal-hal di luar kekuasaan kita yang
membatalkan rencana itu. Bagi saya lebih baik ya nanti
malam, atau tidak sama sekali."
Bu Zulaikha memandang wajah Zahrana lekat-lekat.
Wajah yang teduh, namun sangat berkarakter.
"Ibu sudah tahu say a tapi Hasan belum tahu saya Bu."
"Dia lebih tahu dari saya tentang diri Bu Zahrana.
Apa yang masih membuat Bu Zahrana ragu."
"Saya masih belum bisa percaya Bu. Ini hal gila.
Mahasiswa melamar dosennya. Apa kata dunia?"
"Harus bagaimana saya agar ibu percaya. Sumpah
demi Allah? Baiklah saya bersumpah demi Allah semua
yang saya sampaikan benar. Apa lagi? Hal gila? Tidak
Bu, tidak gila. Melangkah untuk mengikuti sunah Rasul
itu bukan ide gila. Itu ide baik. Dan mahasiswa meminang
dosen, apakah ada dalil yang mengharamkannya?"
"Saya tidak tahu harus bicara apa lagi."
"Berarti menerima. Tidak bicara berarti diam. Diam
tanda menerima."
"Saya ini lebih tua dari Hasan Bu. Dia cocoknya jadi
adik saya."
"Syariat tidak menentukan batasan umur. Ibu
memang lebih tua. Tapi tidak terpaut jauh. Cuma empat
tahun. Hasan umurnya 29. Mukanya memang baby
face. Bagi saya sendiri tidak masalah. Toh suami saya
juga lebih muda dua tahun dari saya."
"Saya belum bisa menerima Bu?"
"Kenapa? Kata ibu tadi Hasan sudah pantas menikah
dan memiliki isteri. Apa lagi? Apa ada dalam diri Hasan
suatu cacat yang menurut ibu layak ditolak lamarannya?"
Zahrana diam. la tidak tahu harus bagaimana. la
masih belum tahu apa yang terjadi. Hasan melamarnya?
Bagaimana mungkin? Tapi ibunya sedemikian serius. Apa
yang harus ia putuskan. Zahrana tetap diam.
"Baiklah. Dalam hal ini saya tidak memutuskan
sendiri. Saya akan bicara sama anak dan keluarga. Saya
pamit dulu. Setelah Maghrib nanti saya telpon."
Dokter berjilbab itu pulang setelah bersalaman
dengan Zahrana dan ibunya. Zahrana memandang
sedan dokter itu hingga hilang di tikungan. Ada
kebahagiaan menyusup dalam hatinya. Tapi juga ada
kecemasan. la memang lagi bahagia. Namun untuk
membentengi diri agar tidak kecewa lagi setelah
kebahagiaan di depan mata, ia menganggap dialognya
dengan Bu Zul tadi hanya main-main. Dialog latihan
orang bermain drama atau sandiwara.

0 Comments:

Post a Comment



Cerita sohib gue

yang nongkrongin blog gue

jumlah pengunjung