CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Senin, 02 Maret 2009

Kisah cinta zahrana 4

Bab 4

Pagi itu Zahrana datang ke kampus dengan
membawa dua pucuk surat pengunduran dirinya. Satu
untuk rektor dan satu untuk dekan. Pak Karman sedang
rapat dengan rektor. Itu kesempatan baginya untuk
mengemasi barang-barangnya. Teman-temannya
sesama dosen banyak yang kaget.
"Kami tahu dari Ibu Merlin bahwa kamu menolak
lamaran Pak Karman. Apa karena itu terus kamu juga
harus mundur dari kampus?" tanya Pak Didik, dosen
mata kuliah struktur beton yang meja kerjanya paling
dekat dengannya.
"Saya hanya ingin cari suasana baru dan pengalaman
baru. Mungkin saya akan mencoba kerja di sebuah
perusahaan." Jawab Zahrana sekenanya sambil merapikan
berkas-berkasnya.
"Apa ini benar-benar sudah keputusan final?"
"Ya. Final."
"Kami tak berhak menahanmu. Meskipun kami
sangat kehilangan kamu jika kamu keluar. Tidak banyak
pengajar yang seahli kamu. Jika nanti kamu ingin
kembali ke kampus ini jangan segan-segan. Kami para
dosen akan men-support-mu."
"Terima kasih Pak Didik. Maafkan saya jika selama
ini banyak berbuat salah."
"Sama-sama."
Setelah barang-barangnya rapi. la meletakkan surat
pengunduran dirinya di meja kerja Pak Karman. Lalu
mencari mahasiswi yang bisa membantunya mengangkat
barang. Di koridor ia bertemu dengan mahasiswi
berjilbab hitam.
"Nina!"
"Ya Bu Rana."
"Bisa bantu saya sebentar?"
"Bisa Bu."
"Kalau begitu cari tiga teman, dan segera ke ruang
kerja saya. Saya minta bantuannya sedikit."
"Baik Bu."
Ia lalu balik ke ruang kerjanya.
"Pak Didik?"
"Ya Bu Rana."
"Saya minta tolong, surat pengunduran ini disampaikan
ke Pak Rektor begitu saya pergi. Data-data saya di
komputer ini nanti diselamatkan ya Pak. Trus saya minta
tolong dicarikan taksi."
"O bisa Bu."
Lima menit kemudian tiga orang mahasiswi berjilbab,
dan dua orang mahasiswa datang. Kepada mereka
Zahrana menjelaskan bahwa dirinya akan mengundurkan
diri dari kampus itu.
"Kenapa Bu?" tanya Nina, mahasiswinya yang aktif
di Lembaga Pers Kampus.
"Tidak apa-apa. Hanya ingin cari suasana baru saja."
"Tidak karena tekanan seseorang kan Bu?" tanya
mahasiswa berbaju biru tua kotak-kotak.
"Tidak. Ini murni keinginan Ibu. Mana ada yang
berani menekan Ibu tho San." Jawab Zahrana pada
mahasiswa bernama Hasan.
"Kalau ibu mundur, skripsi saya bagaimana Bu?"
tanya mahasiswa itu lagi.
"O tenang San. Nanti kamu menghubungi Bu
Merlin dan Pak Didik ya. Mereka akan membantumu,
insya Allah."
"Saya masih boleh konsultasi pada ibu tho. Meskipun
ibu tidak di kampus ini lagi?"
"Boleh San. Kalian semua ibu persilakan dolan ke
rumah ibu kapan saja." Kata Zahrana sambil memandang
wajah mahasiswanya satu per satu.
Zahrana lalu meminta mereka mengangkat barangbarangnya
ke luar gedung. Tak lama taksi datang.
Zahrana pun meninggalkan kampus itu dengan
membawa seluruh barang-barangnya.
Begitu selesai rapat, Pak Karman kembali ke ruang
kerjanya. Keputusannya sudah mantap yaitu memecat
Zahrana dengan beberapa tuduhan serius, di antaranya:
tidak disiplin. "Perawan tua itu harus diberi pelajaran!"
Geramnya dalam hati. Ketika ia duduk di kursinya ia
menangkap sepucuk surat tergeletak di atas meja
kerjanya. Ia baca surat itu. Kemarahannya seketika
meluap, "Kurang ajar!"
Ia seperti petinju yang nyaris meng-KO lawan, tibatiba
malah dipukul KO. Ia sama sekali tidak memperhitungkan
Zahrana akan membuat keputusan nekat itu.
Namun ia tetap akan membuat perhitungan dengan satusatunya
dosen Fakultas Teknik yang masih gadis itu.
Tak perlu waktu lama bagi Zahrana untuk mendapatkan
pekerjaan baru. Dari seorang teman ia
mendapatkan informasi bahwa STM Al Fatah Mranggen,
Demak, sedang membutuhkan seorang guru baru yang
profesional untuk mendongkrak prestasi. STM Al Fatah
berada di payung Yayasan Pesantran Al Fatah. Pesantren
besar yang terkenal di Mranggen. Ia mengajukan
lamaran dan hari itu juga ia diterima.
Kepala sekolahnya yang masih keturunan pendiri
Pesantren Al Fatah sangat senang. Pengalaman mengajar
Zahrana ketika mengajar di FT universitas swasta
terkemuka di Semarang adalah jaminan kualitas.
Sejak hari itu Zahrana mengajar siswa-siswa yang
sebagian besar adalah santri. Ia berusaha mendalami
kultur dan budaya santri. Sebab sejak kecil ia belum
pernah menjadi santri sama sekali. Ia merasakan nuansa
yang berbeda antara mengajar santri dan mengajar
mahasiswa. Ada tantangan tersendiri mengajar santri
yang masih banyak menganggap ilmu eksak tidak
penting, yang menganggap "ilmu umum" lainnya juga
tidak penting.
Dianggap tidak penting, karena para santri berpikiran
bahwa ilmu eksak dan "ilmu umum", kelak tidak
akan ditanyakan di akhirat. Bagi mereka, yang terpenting
adalah "ilmu agama", karena ilmu itulah yang akan
dibawa hingga akhirat nanti. Pikiran yang perlu diluruskan.
Dan Zahrana tertantang untuk meluruskannya.
la merasa mengajar di lingkungan pesantren lebih
menenteramkan. Entah kenapa? Apa karena dekat
dengan banyak ulama? Atau karena memang di
pesantren tempat ia mengajar tidak ada manusia seperti
Pak Karman yang dalam pandangannya sangat-sangat
durjana. Hari-harinya ia lalui dengan lebih tenang dan
tenteram. Ilmu S.2-nya ia rasa tidak benar-benar hilang
tanpa guna. Sebab ia juga diterima sebagai konsultan
sebuah perusahaan properti. Ia juga masih sering
didatangi mahasiswanya.
Yang masih sering datang adalah mahasiswanya
yang bernama Hasan. Tugas Akhir Hasan memang di
bawah bimbingannya. Namun setelah ia keluar, tugas
pembimbingan diambil alih oleh Bu Merlin. Hasan dan
teman-temannya masih suka datang untuk konsultasi
dan meminjam referensi. Ia merasa senang dengan kedatangan
mereka. Ia merasa mereka seperti adiknya sendiri.
Suatu siang ayahnya bertanya, mengapa ia meninggalkan
kampus dan memilih mengajar di STM Al
Fatah yang gajinya jauh lebih kecil. Ia menjawab,
"Ingin mencari ketenangan dengan dekat kiai dan
para santri."
Ayahnya hanya mendesah tanda tidak setuju.
Namun ia kemudian berusaha menghibur,
"Yang kedua Yah, Zahrana berharap mengajar di
lingkungan pesantren jadi jalan bagi Zahrana menemukan
jodoh Zahrana. Bertahun-tahun di kampus jodoh
yang Zahrana harap tidak juga datang."
Wajah ayahnya itu sedikit cerah,
"Semoga harapanmu terkabul. Kalau perlu kamu
harus berani minta tolong pada Pak Kiai. Siapa tahu
beliau bisa membantu menemukan jodohmu."
"Iya Yah. Mohon doanya terus."
"Tanpa kamu minta pun kami terus mendoakanmu
siang dan malam, Anakku."
"Terima kasih Ayah."

0 Comments:

Post a Comment



Cerita sohib gue

yang nongkrongin blog gue

jumlah pengunjung