CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Kamis, 12 Februari 2009

Bidadari subuh

Bab 1

Malam sudah hampir menutup tirainya, hendak mengizinkan sang surya untuk mengisi dunia dengan cahaya. Jalanan kota Jakarta masih kosong. Debu-debu jalanan dari malam sebelumnya sedang bergelantungan di jutaan tetes-tetes embun subuh. Lampu-lampu dari rumah-rumah sekitar masih banyak yang padam. Pemiliknya mungkin masih asyik terlelap atau meratap pada Pemilik Semesta dalam sujud tahajud mereka. Beberapa ibu-ibu tua terlihat sibuk menyiapkan dagangan sayurnya di sudut Pasar Pagi.
Sebuah mobil BMW hitam melintas di jalanan bawah jembatan. Lampu lalu lintas yang berwarna merah tidak dihiraukan. Mobil itu berjalan kencang menerobos sisa-sisa angin malam. Sesekali jalannya agak tidak terkendali. Miring ke kanan, miring ke kiri. Dan akhirnya menghilang di ujung jalan, masuk ke sebuah perumahan mewah. Kecepatan mobil mulai berkurang. Dua meter di depan, seorang satpam bersiap membuka pagar masuk perumahan.
“Malam Pak Dimas,” Sambut si satpam tua.
Pemuda yang bernama Dimas tersebut tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya melambaikan tangannya, lalu kembali meluncur meninggalkan satpam tua yang tergopoh-gopoh menutup pintu gerbang. Musik Jazz yang menemaninya masih mengalunkan irama lembut yang menenangkan. Namun hati Dimas terlalu gundah untuk bisa didinginkan oleh suara saxophone yang dimainkan oleh Greg Vail, saxophonist terkenal itu. Ia bahkan terlalu gundah untuk menyadari bintang bersinar jauh lebih banyak malam ini. Padahal langit malam itu tergelar di atas Jakarta.
Kepalanya terasa berdenyut, minuman beralkohol yang tadi menjadi temannya mulai tidak bersahabat pada tubuhnya. Ia bertambah kesal, pusing yang dirasa sama sekali tidak membantu memperbaiki moodnya yang sudah seminggu ini naik turun. Masalah pekerjaan, ulah adik perempuannya yang hamil di luar nikah, dan sederetan persoalan lainnya benar-benar membuat dunia Dimas terasa hitam pekat dan menyesakkan.
Daaaaaarrrrr... ciiiiitttt...ciiiiitt....!!!
Dimas tersentak dari lamunannya. “God! Apalagi sekarang?!?!”
Ia keluar untuk memeriksa mobilnya yang tiba-tiba mengeluarkan suara keras dan sekarang tak bisa lagi berjalan. Ternyata ban kanan belakang mobil pecah. Hal ini membuatnya heran, karena tadi mobil tidak bergerak dalam keadaan kencang. Dalam keadaan setengah mabuk, ia sudah tidak mau lagi berpikir panjang. Yang ia inginkan hanya sampai di tempat tidurnya dan mengistirahatkan kepalanya yang semakin berdenyut. Urusan mobil biar ia pikirkan besok pagi.
Sebelum mengunci mobilnya, Dimas tidak lupa mengambil botol alkohol yang masih terisi seperempatnya. Ia lalu berjalan lunglai sambil sesekali menenggak sisa-sisa minuman keras. Tak diperhatikannya lagi pemandangan sekitar. Samar-samar ia mendengar suara Adzan subuh dari masjid sekitar. Dimas terus berjalan. Matanya sudah berkunang-kunang. Letih yang luar biasa menjulur, merayap, membelit seluruh sendi-sendi tubuhnya. Namun ia paksakan kakinya untuk terus melangkah. Sekitar dua ratus meter lagi ia akan sampai di rumah mewah yang dibangun atas jerih payahnya sendiri. Tiba-tiba,
Braaaakkk... Prang..!!!
“Ya Allah!” Terdengar jerit suara perempuan. Sejenak semuanya terasa berkabut. Agak sulit bagi Dimas mencerna apa yang telah terjadi dalam keadaan setengah mabuk. Namun setelah beberapa detik, ia mulai melihat botol alkohol yang tadi digenggamnya sudah terserak berkeping-keping di aspal jalanan. Dan di hadapannya seorang perempuan berjilbab putih sedang berlutut membereskan barang bawaannya yang terjatuh karena tertabrak dirinya. Dimas sempat melihat perempuan berjilbab itu mengangkat sebuah buku yang lalu dibersihkan dan dipeluknya, seakan buku itu sangat berharga. Dimas sempat menangkap tulisan di sampul buku itu, Al-Qur’an.
Cepat-cepat perempuan itu berdiri. Dimas menangkap tatapan ketakutan dan rasa kaget luar biasa dari mata perempuan di hadapannya. Tiba-tiba jantung Dimas berdetak, begitu melihat sinar mata sang perempuan. Begitu menyadari Dimas sedang menatap wajahnya, perempuan itu menunduk dan bersiap-siap hendak berjalan meninggalkan Dimas. Namun dengan sigap Dimas menghalangi jalannya.
“Tunggu sebentar!” Tubuh perempuan berkerudung putih itu bergetar. Matanya memancarkan ketakutan yang luar biasa.
“Tunggu, kerudung anda basah terkena minuman saya tadi.” Dimas menunjuk noda kecoklatan di atas jilbab si perempuan. Ia merogoh kantongnya, ia ingat tadi membawa sehelai sapu tangan. Perempuan cantik itu pun sejenak memperhatikan noda yang cukup besar di jilbabnya.
Dimas mengulurkan sapu tangan biru kepada sang perempuan. Namun ditolak olehnya,
“Terima kasih, tidak perlu. Saya akan membiarkan noda di atas jilbab saya ini, supaya nanti, setiap kali saya melihat noda di jilbab ini, saya akan ingat untuk berdo’a untuk kebahagiaan anda, wahai pemuda kebingungan. Sudah iqamah, saya harus pergi.” Perempuan tadi segera berlari. Dimas berdiam sejenak, berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya. Ketika ia menengok ke belakang, perempuan itu sudah hilang di balik remang cahaya.
Hatinya bertanya, siapakah namamu? Wahai bidadari subuh?




0 Comments:

Post a Comment



Cerita sohib gue

yang nongkrongin blog gue

jumlah pengunjung