CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Senin, 02 Maret 2009

Kisah cinta zahrana 7

Bab 7

Hari berikutnya Zahrana benar-benar tidak ke manamana
sejak pagi. Hari itu ia ijin tidak mengajar demi
mengejar takdir. Ia menunggu di ruang tamu. Terkadang
juga di beranda. Sesekali ke jalan. Penjual kerupuk itu
tidak juga datang.
Jam sebelas siang seorang penjual kerupuk datang.
"Puk Kerupuk! Puk Kerupuk!" Suara penjual
kerupuk itu membahana. Hari Zahrana sedikit lega. Ia
menunggu. Suara itu semakin mendekat. Semakin
mendekat. Ia keluar ke beranda. Begitu penjual kerupuk
sampai di depannya, ia berteriak,
"Kerupuk Pak!"
Penjual kerupuk itu menghentikan langkah. Tempat
kerupuk yang dipikulnya ia turunkan. Zahrana
terperanjat. Sudah tua. Ia memperkirakan umurnya
mendekati lima puluh tahun. Kulitnya hitam legam
tersengat matahari. la hampir menangis.
"Iya Bu, beli berapa?"
"Tiga ribu Pak."
"Baik Bu."
Penjual kerupuk itu mengambil kerupuk dan
memasukkan ke dalam plastik lalu menyerahkan
kepada Zahrana. Zahrana mengeluarkan uang dua
puluh ribu.
"Ada yang kecilBu?"
"Aduh tak ada Pak."
"Aduh gimana ya Bu. Saya tak ada kembalian. Udah
ibu bawa dulu saja kerupuknya. Kapan-kapan kalau saya
lewat ibu bayar."
"E jangan Pak. Udah bapak bawa saja. Itu sedekah
saya untuk Bapak."
"Baik Bu kalau begitu. Matur nuwun ya Bu. Semoga
keinginan ibu dikabulkan Allah."
"Amin." Dalam hati Zahrana berdoa ingin suami
yang saleh dan pantas bagi dirinya.
Begitu penjual kerupuk itu pergi, Zahrana langsung
menghubungi Lina sambil menangis. la menceritakan
penjual kerupuk yang baru ditemuinya.
"Apakah dalam pandangan Pak Kiai dan Bu Nyai
saya memang pantasnya untuk penjual kerupuk yang
tua itu?" Nada Zahrana terdengar sedih.
"Tenanglah Rana. Kau sudah tanya sama Pak Tua
itu siapa namanya?"
"Tidak terpikir Lin. Sama sekali tidak terpikir bertanya
namanya tadi. Aku sudah shock duluan tahu penjual itu
sudah tua. Tidak seperti yang aku bayangkan."
"Ya sudah. Kalau begitu kau sabar saja. Yang jelas,
tidak mungkin Pak Kiai dan Bu Nyai tega menjerumuskanmu.
Ini kan masih siang. Kau tunggu saja. Aku yakin
yang dikirim Pak Kiai pasti baik. Pokoknya kamu jangan
ke mana-mana ya. Tunggu sampai malam datang. Mau
dapat suami saleh harus sabar ya." Lina berusaha
menenangkan dan menguatkan.
"Terima kasih Lin. Semoga yang kaukatakan benar."
Zahrana kembali menunggu. Nyaris satu hari penuh
Zahrana menunggu dengan perasaan sedih, jengkel,
marah juga berharap. Belum pernah ia sepegal itu. la
yang dulu pernah mendapatkan predikat mahasiswa
teladan UGM kini menunggu datangnya seorang penjual
kerupuk keliling. Begitu pentingnya penjual kerupuk itu.
Tapi inilah takdir hidupnya. Ia merasa ia harus sabar.
Sampai senja tiba, tukang kerupuk selain yang
pertama belum datang. Ia menangis. Jika benar, yang
dikirim Pak Kiai adalah Pak Tua tadi, maka ia merasa
menjadi perempuan paling menderita di dunia. Sampai
Pak Kiai dan Bu Nyai yang dia anggap orang yang
sangat arif pun, berpendapat bahwa ia pantasnya dengan
lelaki berkepala lima. Sudah sedemikian tidak berharganya
dirinya.
Ia masuk rumah. Lima belas menit lagi azan
Maghrib berkumandang. Ia cemas dan galau. Tak ada
penjual kerupuk yang datang kecuali Pak Tua tadi. Ia
bingung. Ia lemas. Ia keluar lagi. Berharap ada penjual
kerupuk lain yang datang. Penjual kerupuk seperti yang
ia bayangkan. Ia duduk di kursi beranda. Airmatanya
bercucuran,
"Ya Ilahi jika aku punya dosa, ampunilah dosaku.
Cukupkanlah ujian-Mu. Aku mohon mudahkanlah
jalanku menyempurnakan separo agamaku sesuai
syariat-Mu. Mudahkan diriku menyempurnakan ibadah
kepada-Mu."
Ia lalu bangkit masuk rumah lagi. Tak ada siapasiapa
di rumah. Ayah dan ibunya sedang ke rumah
sepupunya yang memiliki hajat sunatan di Pucang
Gading.
Baru saja masuk, ia mendengar suara nyaring,
"Kerupuk-kerupuk! Kerupuk Paak! Kerupuk Buu!"
Ia terperanjat dan bergegas keluar. Suaranya lebih
tegas dan lantang. Ia lari. Penjual kerupuk itu telah
melewati rumahnya. Ia melongok dari pagar. Penjual
kerupuk itu hanya tampak punggungnya. Ia naik sepeda
dan mengayuh sepedanya dengan cukup kencang.
Zahrana jadi penasaran. Dengan cepat ia nyalakan
sepeda motornya yang berdiri di beranda. Lalu melesat
mengejar. Tak perlu waktu lama agar penjual kerupuk
itu terkejar. Apa susahnya bagi sepeda motor untuk
mengejar sepeda. Ketika sudah dekat ia berteriak,
"Kerupuk, Mas!"
Penjual kerupuk itu menepi menghentikan sepedanya.
Ia melakukan hal yang sama. Penjual kerupuk itu
membuka topi lebarnya dan mengipas-ngipaskannya ke
tubuhnya. Semarang memang panas, meskipun hari
telah senja. Zahrana terperanjat. Masih muda dan
ganteng. Keringat yang mengalir, lengan yang kekar
terbakar matahari menambah pesona tersendiri. Sesaat
lamanya ia memandangi penjual kerupuk itu.
"Iya Bu, beli berapa?"
Ia tersadar.
"E...lima ribu."
Penjual kerupuk itu mengambil plastik hitam besar
dan memenuhinya dengan kerupuk.
"Ini Bu"
Ia mengambil kerupuk dan mengulurkan uang lima
puluh ribu.
Penjual kerupuk itu menerima uang itu dan menghitung
uang kembalinya.
"Ini kembalinya Bu. Empat puluh lima ribu rupiah."
Zahrana menerima dengan tangan kanannya.
Sementara tangan kirinya memegang kantong plastik
berisi kerupuk. Penjual bersiap melanjutkan perjalanan.
"E, Sebentar, Mas." Zahrana menghentikan.
"Ya Bu, ada apa? Apa uang kembalinya kurang?"
"Tidak kok Mas. Mau tanya, sudah lama jualan
kerupuk ya Mas? Kok kayaknya baru ke daerah ini."
"Iya Bu. Sudah lama. Saya memang baru kali ini
ke daerah ini. Biasanya saya beroperasi di daerah
Mranggen, Plamongan Indah, Pucang Gading dan
Penggaron saja,"
"O. Ini cari langganan baru ya?"
"Bisa ya, bisa tidak."
"Kok begitu."
"Biasanya dagangan saya sudah laku di timur, tidak
perlu sampai ke kampung ini. Saya jualan ke sini hanya
karena sendiko dawuh saja sama Pak Kiai. Pak Kiai saya
itu aneh, tiba-tiba saya diminta jualan di daerah ini, di
perumahan ini. Dan anehnya Pak Kiai bilang hari ini saja.
Besok-besok terserah."
Jantung Zahrana berdegup kencang. Azan Maghrib
mengalun.
"Boleh tahu, siapa nama Mas?"
"Nama saya Rahmad Bu. Sudah ya Bu saya jalan
dulu. Sudah Maghrib, saya harus cari masjid."
Penjual kerupuk itu mengayuh sepedanya ke arah
suara azan berkumandang. Zahrana memandang
punggungnya sampai hilang di kejauhan.
"Diakah jodoh yang ditakdirkan Allah untukku?"
tanyanya dalam hari.
Ia lalu kembali ke rumahnya. Sampai di rumah ayah
ibunya sudah ad a di rumah.
"Dari mana Rana? Ini rumah ditinggal pergi tapi
pintu terbuka tak dikunci? Jangan sembrono kamu!"
tegur ibunya serius.
"Dari mengejar penjual kerupuk Bu. Wong cuma
sebentar kok." Jawab Zahrana tenang.
"Penjual kerupuk yang dikirim Bu Nyai itu?" tanya
ibunya dengan mata berbinar.
"Iya Bu."
"Bagaimana orangnya? Ganteng? Kau cocok?"
"Ah ibu itu lho semangat banget. Yang jelas orangnya
baik. Yang lain nanti kita musyawarahkan!"
"Iya. Iya. Baik."
Zahrana lalu masuk kamarnya untuk siap-siap shalat
Maghrib. Sebelum ia mengambil air wudhu hpnya
berdering. Sebuah SMS masuk. Ia buka,
"Ass wr wb. Bu ini Hasan. Alhmdulillah tadi sy sdh
wisuda. Dan alhmdulillah sy dinobatkan sbg mhsw
terbaik. Ini jg berkat doa dan bimbingan Ibu. Trm ksh
sdh mmnjami referensi dll. Mhn doanya. Wassalam."
Ia tersenyum. Ia bahagia membaca SMS itu.
Bagaimana tidak bahagia jika ada seorang murid yang
berhasil tidak lupa pada gurunya. Ia teringat saat dulu
diwisuda di UGM dan menjadi lulusan terbaik di
Fakultasnya. Saat itu ia sangat bahagia. Dan itu pula
yang saat ini sedang dirasakan mahasiswanya, Hasan.
Ia teringat Nina. Bagaimana dengan Nina? Nina
tak kalah hebatnya dengan Hasan. Tiba-tiba ia
tersenyum simpul. Hasan dan Nina itu cocok. Kalau
mereka menikah itu pas. Hasan ganteng, Nina cantik.
Sama-sama aktivis. Sama-sama cerdas dan bisa
diandalkan.
Setelah Zahrana melakukan kroscek pada Bu Nyai,
memang penjual kerupuk yang masih muda itulah yang
dimaksud Pak Kiai. Umurnya 29 tahun. Jadi lebih muda
empat tahun dari Zahrana. Setelah memikir dan
menimbang tiga hari lamanya Zahrana merasa cocok.
Ayah dan ibu Zahrana pun cocok.
Barulah setelah itu Pak Kiai dan Bu Nyai mempertemukan
dua keluarga. Mulanya si Rahmad merasa
minder. Tapi Pak Kiai berhasil meyakinkan Rahmad
untuk tidak minder. Pada Rahmad Pak Kiai berkata,
"Zahrana ini, meskipun berpendidikan tinggi tapi ia
rendah hati. Yang jadi pertimbangan Zahrana dalam
mencari suami bukan materi, status, strata, kedudukan
sosial, pendidikan dan lain sebagainya. Yang jadi
pertimbangan Zahrana adalah agama, iman dan akhlak.
Insya Allah, ia gadis salehah yang mampu menghormati
suaminya. Jadi kamu jangan minder!"
Akhirnya Rahmad juga menyatakan cocok. Jadilah
dua keluarga itu cocok. Saat musyawarah dua keluarga
itu, Zahrana mengutarakan keinginannya untuk
mempercepat pernikahannya. Usul Zahrana diterima
dengan penuh semangat oleh dua keluarga.
"Semakin cepat semakin baik. Insya Allah semakin
cepat juga semakin barakah!" Demikian Pak Kiai
berkomentar.
Dan ditetapkanlah hari H pernikahan Rahmad
dengan Zahrana dua minggu setelah pertemuan itu. Dua
keluarga itu langsung didera kesibukan menyiapkan
pesta pernikahan itu. Karena Zahrana anak tunggal, Pak
Munajat ingin semua teman lama dan saudara diundang.
Dengan kerja keras, dalam waktu relatif singkat
undangan pernikahan tersebar. Zahrana mengundang
semua temannya. Yang tidak bisa dikirimi undangan
diberitahu lewat email dan SMS . Ia juga mengundang
mahasiswanya yang ia kenal. Mereka ia undang lewat
SMS. Para mahasiswanya mengirim balasan dengan
nada sangat gembira dan memastikan mereka datang.
Namun dua orang mahasiswa yang ia harapkan datang,
yaitu Nina dan Hasan malah tidak bisa datang.
Nina mengirim balasan:
"Trm ksh Bu atas undangannya. Smg prnikhnnya
barakah. Maaf sy tdak bisa datang sbb pada hari yang
sama saya jg akan melangsungkn akad nikah di Jkt.
Saling mendoakan ya Bu. Nina."
Ia bahagia, Nina langsung menikah begitu selesai S.l.
Tapi sedikit kecewa karena Nina tidak menikah dengan
Hasan. Seperti yang ia idealkan. Ia langsung sadar, ideal
di mata manusia itu berbeda dengan ideal di mata Allah
Swt.
Sementara Hasan mengirim balasan,
"Smg prnkhan Ibu pnh barakah. Maaf sy tdk bs
datang Bu. Sbb hari itu saya hams mengurus beasiswa
S.2 USM (Universiti Sains Malaysia). Motion doanya."
Kabar yang membuatnya bahagia. Mahasiswa
penuh dedikasi seperti Hasan memang pantas mendapatkan
beasiswa. Dalam hati ia berdoa semoga semua
mahasiswanya berhasil dan sukses.
Tak ketinggalan ia juga mengundang temantemannya
sesama dosen waktu mengajar di kampus
Fakultas Teknik. Semua ia undang termasuk Bu Merlin.
Hanya Pak Karman yang tidak. Ia tak ingin hari
bahagianya rusak dengan melihat bandot tua yang tidak
ia suka itu.
Namun mau tidak mau Pak Karman tahu juga kabar
itu. Dan ia juga tahu bahwa hanya ia seorang di kampus
yang tidak diundang. Hal itu membuatnya marah dan
geram.
"Jangan sebut aku ini Karman jika tidak bisa
memberi pelajaran pahit pada perempuan tengik itu!"
Geramnya sambil memukul meja di ruang kerjanya.
Hari pernikahan Zahrana semakin dekat. Zahrana
telah memilih gaun pengantinnya. Gaun pengantin
Muslimah hijau muda yang sangat anggun. la memang
suka warna hijau muda. Gaun pengantin itu ia beli dari
butik Muslimah terkemuka di Solo.
Sore itu, ia mencoba gaun itu di kamarnya. Sambil
memandang wajahnya ke cermin ia berkata,
"Akhirnya aku akan jadi pengantin juga. Aku akan
punya suami. Aku akan hidup membina rumah tangga
layaknya yang lain."
Hatinya berbunga-bunga. la bahagia. Jika boleh
meminta ia masih ingin meminta akad nikah dan
walimatul ursy-nya. dipercepat lagi saja. Ia ingin segera
mengatakan pada dunia bahwa ia juga berhak hidup
wajar seperti yang lainnya. Hidup berkeluarga. Memiliki
suami yang baik dan setia. Dan kelak memiliki anakanak
yang menjadi penyejuk jiwa.
Tiba-tiba hp-nya. berdering. Satu SMS masuk,
"Apa kabar perawan tua? Jika kau telah beli gaun
pengantin. Sebaiknya kaukembalikan saja. Kau tak akan
memakainya di hari pernikahan yang telah kautentukan.
Kau masih akan lama menyandang statusmu sebagai
perawan tua. Bukankah jadi perawan tua itu indah. Tiap
saat dilamar banyak orang dan bisa dengan semenamena
menolaknya. Kenapa kau tidak menikmatinya saja?
Kenapa tergesa-gesa? Demi kebaikanmu sendiri,
sebaiknya kaukembalikan saja gaun pengantinmu itu.
Jadilah perawan tua selamanya."
Ia kaget. SMS berisi kata-kata teror itu muncul lagi.
Entah kenapa, kali ini ia tidak setenang dulu menghadapai
SMS teror itu. Kali ini ia sangat marah. Rasanya
ia ingin membunuh orang yang mengirim SMS kurang
ajar itu. Dengan sangat geram ia membalas,
"Semoga laknat Allah mengenaimu hai iblis tua!
Semoga kau menemui ajalmu dalam keadaan hina di
mata manusia!"

0 Comments:

Post a Comment



Cerita sohib gue

yang nongkrongin blog gue

jumlah pengunjung