CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Senin, 02 Maret 2009

Kisah cinta zahrana 5

Bab 5

Malam itu setelah memeriksa tugas-tugas anak
didiknya Zahrana membuka komputer. Ia hendak
berselancar di dunia maya internet. Ia ingin melihat
apakah ada email yang masuk. Apakah ada berita yang
menarik. Dan ia mau membuat blog. Siapa tahu dengan
membuat blog ia bisa menemukan jodohnya.
Baru saja menyalakan komputer hp-nya berdering
beberapa kali. Ada tiga SMS yang masuk. Ia membukanya:
"Sedang apa perawan tua?"
"Ternyata jadi perawan tua itu indah."
"Jangan-jangan jilbabmu itu kedok untuk menutupi
daging tuamu yang sudah busuk di kerubung lalat!"
Zahrana tersentak dan geram. Sebuah teror. Teror
paling primitif, dengan kata-kata yang merendahkan dan
menyakitkan. la periksa nomornya. Nomor yang tidak
ia kenal. la nyaris membalas SMS itu dengan kata-kata
yang sama pedasnya. Tapi ia urungkan. Ia sudah bisa
menduga kira-kira dan mana SMS itu berasal. Akhirnya
ia memilih diam. Diam tanpa pernah menganggap SMS
itu ada. Ia merasa diam adalah senjata paling ampuh.
Menanggapi omongan orang gila berarti ikut jadi gila.
Menanggapi sikap orang dungu berarti ikut jadi dungu.
Internetnya sudah konek. Lima email dari temantemannya
sesama dosen. Semuanya menyayangkan
keputusannya meninggalkan kampus. Dan semuanya
mendoakan semoga sukses dengan pilihannya.
Hp-nya kembali berdering. Dua kali. Ia buka,
"Apa kabar Perawan Tua?"
"Kelapa itu semakin tua semakin banyak santannya.
Banggalah jadi perawan tua!"
Ia meneteskan airmata. Tubuhnya bergetar. Hatinya
sakit. Tapi ia harus menang. Diam adalah senjata
pamungkasnya untuk menang. Ia tidak akan meladeni
kata-kata yang tidak mencerminkan datang dari orang
terdidik itu. Akhirnya, ia matikan hp-nya. Ia memilih
asyik berselancar di dunia maya.
Ia buka alamat emailnya yang lain. Ada dua email.
Yang satu dari sebuah komunitas milis, memanggilnya
untuk ikut milis. Dan satunya dari Pak Didik. Ia jadi
bertanya ada apa dengan Pak Didik. Baru kali ini Pak
Didik mengirim email kepadanya. la buka email itu:
Subjeknya: SEBUAH TAWARAN, JIKA BERKENAN.
Baru dikirim beberapa jam yang lalu.
la lalu membacanya dengan sedikit rasa penasaran.
Tawaran apa yang dimaksud Pak Didik, yang celananya
selalu di atas mata kaki itu?
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Semoga Ibu Zahrana sukses dan berbahagia selalu.
Amin. Sebelumnya mohon maaf jika email saya ini
mengganggu. Sebenarnya sudah lama saya ingin
mengirim email ini tapi terhambat karena beberapa
sebab. Hari ini saya merasa hari yang tepat saya
mengirim email ini untuk memberikan sebuah tawaran
kepada Ibu Zahrana. Maaf terpaksa saya sampaikan
lewat email, sebab jika saya sampaikan langsung secara
lisan takut terjadi salah paham. Karena bahasa tulisan
bisa diedit sementara bahasa lisan tidak.
Bu Zahrana, setelah mengetahui lebih detil tentang
Ibu. Juga apa yang Ibu cari selama ini saya memberanikan
diri mengajukan diri. Mengajukan diri untuk
menjadi suami ibu. Maaf, to the point saja Bu. Saya
menawarkan kepada ibu, sekali lagi maaf jika dianggap
lancang, untuk menjadi isteri kedua saya. Saya yakin
isteri saya bisa menerimanya nanti.
Saya akan berusaha adil sebagai suami. Terus terang
sebenarnya yang saya harapkan adalah seorang isteri
yang educated dan cerdas seperti Bu Zahrana. Bukan
yang bisanya cuma arisan seperti isteri saya saat ini.
Tapi karena sudah punya dua anak, tidak mungkin saya
meninggalkan dia.
Saya yakin dengan kita membina rumah tangga
bersama, kita bisa bersinergi. Kita bisa saling memberi
dan memaksimalkan potensi. Ini harapan saya. Semoga
ibu berkenan dengan harapan ini.
Saya kira cukup sekian dulu surat ini. Jika ada salah
kata motion maaf. Tawaran saya ini mohon tidak diartikan
sebagai pelecehan. Sama sekali saya tidak bermaksud
seperti itu. Saya bermaksud kita saling memberi
manfaat. Itu saja. Akhirul kalam,
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Hormat saya,
Didik Hamdani, M.T.
Zahrana membaca email itu dengan tubuh bergetar,
mata berkaca-kaca. la tidak tahu apa yang ia rasakan.
Yang jelas bukan bahagia. Ia merasa betapa tidak mudah
menjadi gadis yang terlambat menikah. Dan betapa susah
menjadi wanita.
Jika Pak Didik itu tidak memiliki isteri, katakanlah
duda sekalipun, tawaran itu mungkin akan sedikit
menjadi jendela harapan di hatinya. Tapi ia harus
dijadikan yang kedua. Ia tidak tega. Ia tidak tega pada
perasaan yang akan dialami isteri Pak Didik. Dan ia juga
tidak tega pada perasaan kedua orangtuanya. Mereka
semua tidak siap untuk itu. Bahkan jika mau jujur, ia
sendiri "belum siap", atau lebih tegasnya "tidak siap"
menjadi isteri kedua. Sakit rasanya. Bagaimanapun ia
adalah wanita biasa. Ia adalah perempuan Jawa pada
umumnya, yang benar-benar "tidak siap", atau lebih
tepatnya "tidak mau" dijadikan istri kedua. Atau "tidak
mau" dimadu.
la membayangkan, alangkah tersiksanya, misalnya,
bila ia menerima tawaran Pak Didik itu, ternyata isterinya
tidak setuju. Isterinya itu lantas melabraknya dan
mengatakan kepadanya,
"Hai perawan tua tengik, memang di dunia ini sudah
tidak ada lelaki sehingga kamu tega merampas suami
orang! Dasar perawan tua! Suka merusak pager ayu
orang saja!"
Ia tidak tahu akan menjawab apa.
Maka begitu ia selesai membaca email itu, yang ia
lakukan adalah men-delete-nya tanpa me-reply sama
sekali. Ia menganggap email itu tak pernah ada.
Matanya masih berkaca-kaca.
Bumi terus berputar pada porosnya. Detik berkumpul
menjadi menit. Menit berkumpul menjadi jam. Jam
berkumpul menjadi hari. Minggu berkumpul menjadi
bulan. Ternyata sudah enam bulan Zahrana mengajar
di STM. Namun masalah utamanya belum juga selesai.
la belum juga mendapatkan jodohnya. Setelah mendapat
tawaran dari Pak Didik, sudah ada dua orang yang maju.
Tapi entah kenapa ia tidak sreg. Hatinya belum cocok.
Yang pertama dibawa oleh teman ayahnya. Seorang
satpam di sebuah Bank BUMN. Ia tidak lagi melihat
status. Satpam atau apapun tak jadi masalah. la tidak
sreg karena satpam itu tidak bisa membaca Al-Quran
sama sekali. Sekali lagi, tidak bisa membaca Al-Quran
sama sekali. Shalat juga dengan jujur diakuinya tidak
pernah lengkap. la hanya membayangkan akan jadi apa
anak-anaknya kelak jika ayahnya sama sekali tidak
mengenal Al-Quran. Dalam bahasa dia, buta Al-Quran.
Dan alangkah beratnya mengajari ngaji suaminya dari
nol. Juga mendisiplinkan shalatnya dari nol. Akhirnya
tanpa berpikir panjang ia lebih memilih menunggu yang
lain.
Orang yang kedua, yang maju melamarnya dibawa
oleh temannya sendiri, Wati. Seorang pemilik bengkel
sepeda motor. Duda beranak tiga. Status duda dengan
berapa anak juga sebenarnya tidak masalah baginya. Ia
tidak mungkin cocok dengan duda itu, karena ia telah
kawin cerai sebanyak tiga kali dalam waktu tiga tahun.
Tiga anak itu adalah hasil kawin cerainya dengan tiga
perempuan berbeda. Ia tidak mau jadi korban yang
keempat. Meskipun Wati mengatakan bahwa lelaki itu
telah insyaf. Ia ingin menikahi Zahrana sebagai isteri
yang terakhir. Karena ia tidak juga bisa menenangkan
batinya. Akhirnya ia tolak juga pemilik bengkel itu.
Datangnya lamaran silih berganti yang semuanya
ditolak oleh Zahrana itu membuat ibunya sempat marah.
"Kamu itu masih tinggi hati Rana! Perempuan tinggi
hati tak akan mendapatkan jodohnya!"
Ia menangis dimarahi ibunya begitu. Ia merasa
penolakannya itu ada landasan logika dan syariatnya
yang kuat. Ia menangis di pangkuan ibunya, dan minta
maaf jika belum bisa menjadi anak yang membahagiakan
orangtua. Ibunya, akhirnya luluh dalam tangis. Ayahnya
yang melihat hal itu juga menangis. Sang ayah berkata
sambil terisak,
"Saat pindah ke STM Al Fatah kamu bilang siapa
tahu jodohmu di pesantren. Coba datanglah ke Pak Kiai.
Coba kamu minta pada Pak Kiai untuk membantu
mencarikan. Mungkin kamu akan ditemukan dengan
santrinya!"
"Baiklah ayah, tak kurang ikhtiar saya. Untuk
menemukan yang saya idamkan baiklah saya akan
sowan ke tempat Bu Nyai dan Pak Kiai secepatnya."
Jawab Zahrana sambil mengusap airmatanya.
Esoknya ia nekat mengajak Lina, menghadap Bu
Nyai dan Pak Kiai. Ia mengajak Lina sahabatnya itu,
karena Lina dulu pernah nyatri di Pesantren ARIS
Kaliwungu selama satu bulan saja, yaitu selama bulan
Ramadhan. Lina tentu lebih tahu berdiplomasi dengan
Bu Nyai daripada dirinya yang sama sekali tidak pernah
nyantri.
Kedatangannya diterima Bu Nyai dengan wajah
menyejukkan. Bu Nyai Sa'adah Al Hafidhah adalah isteri
K.H. Amir Arselan, pengasuh utama Pesantren Al Fatah.
Bu Nyai ini umurnya lima puluhan tahun. Dulu
menghafal Al-Quran di Kudus. Dan di tangannya kini
telah lahir ratusan santriwati yang hafal Al-Quran. Saat
itu kebetulan Pak Kiai sedang pergi ke Rembang. Hanya
Bu Nyai yang menemui.
'Apa yang bisa Ummi bantu, Anakku? Oh ya siapa
namamu, Anakku?" tanya Bu Nyai.
"Nama saya Rana, Ummi. Lengkapnya Dewi
Zahrana. Kedatangan saya ke sini pertama untuk
silaturrahmi. Kedua untuk mohon tambahan doa dari
Ummi. Kebetulan saya ikut mengajar di STM Al Fatah.
Baru enam bulan ini Ummi." Terang Zahrana dengan
kepala menunduk.
"O begitu. Ya. Jadi kau guru baru di STM Al Fatah?"
"Iya, Ummi."
"Dulu nyantri di mana?"
Belum sempat Zahrana menjawab, Lina memotong,
"Zahrana ini belum pernah nyantri, Ummi. Tapi dia
hariannya seperti santri. Zahrana ini dari SMA. Terus
kuliah S.l di UGM dan S.2 di ITB Bandung, Ummi."
"Kalau begitu kamu hebat ya Zahrana. Bisa S.2 di
ITB. Jurusan apa?"
"Teknik Sipil, Ummi."
Bu Nyai hanya manggut-manggut.
Lina tahu bahwa Zahrana tidak berani mengungkapkan
maksud sebenarnya. Maka dengan tanpa
diminta ia lalu menjelaskan dengan sehalus mungkin
maksud utama kedatangan Zahrana ke pesantren. Bu
Nyai menjawab,
"Saya yakin tidak mudah mencari yang selevel
denganmu, Anakku. Jujur saja kalau misalnya ada
yang selesai S.2 umurnya sama denganmu dia akan
memilih yang lebih muda darimu. Lelaki itu umumnya
punya ego, tidak mau isterinya lebih pinter dan lebih
tua darinya. Tapi ya tidak semua lelaki lho. Sekali lagi
tidak mudah mencarikan jodoh yang pendidikannya
harus tinggi seperti kamu juga saleh. Kalau boleh tahu,
kalau strata pendidikannya tidak setinggi kamu
bagaimana?"
Zahrana mengerti maksud Bu Nyai. Segera ia
menjawab,
"Saat ini status, strata, kedudukan sosial, pendidikan
dan lain sebagainya tidak jadi pertimbangan saya Bu
Nyai. Saya hanya ingin suami yang baik agamanya. Baik
imannya dan bisa jadi teladan untuk anak-anak kelak.
Itu saja."
"Oo, baiklah kalau begitu. Besok kautelpon aku ya.
Nanti malam aku akan rembugan dengan Pak Kiai.
Semoga ada pandangan."
"Baik Bu Nyai."
Keduanya lalu pamitan setelah dipaksa Bu Nyai
menghabiskan minuman yang ada di gelas.
"Harus dihabiskan. Kalau tidak habis itu namanya
mubazir. Dan orang yang suka mubazir itu teman
akrabnya setan." Kata Bu Nyai serius.
Rana dan Lina hanya bisa manut saja. Mereka pulang
dengan hati diliputi rasa gembira. Bu Nyai Dah, atau
Ummi Dah, begitu para santri memanggilnya, ternyata
sangat halus tuturbahasanya, begitu perhatian dan begitu
menyenangkan. Wajar jika banyak santri yang mencintainya.
Pak Kiai pasti bahagia punya isteri sebaik dia.

0 Comments:

Post a Comment



Cerita sohib gue

yang nongkrongin blog gue

jumlah pengunjung